Mantan PNS yang Sukses di Bisnis Sawit




Bagi orang Kalimantan Timur, nama Luther Kombong sudah tak asing lagi. Maklum, selain pengusaha sukses, Luther termasuk tokoh daerah itu. Ia juga pernah di kursi Dewan Perwakilan Daerah mewakili provinsi ini. Luther termasuk pengusaha terpandang di Kal-Tim yang memulai semuanya dari bawah. Setamat SMA, Luther tak bisa kuliah karena keterbatasan ekonominya, sehingga ia kemudian memutuskan bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS)

Pengusaha berdarah Toraja yang tumbuh dan besar di Kal-Tim ini dikenal sebagai pengusaha unik. Luther sukses di bisnis perkebunan kelapa sawit, padahal jarang sekali atau bahkan hampir tak ada pengusaha lokal yang sukses di bisnis ini. Kebanyakan pengusaha lokal punya bisnis hak pengusahaan hutan (HPH). Tak heran, di Kal-Tim terdapat beberapa perkebunan sawit, tapi semuanya milik perusahaan besar dari luar Kal-Tim, seperti Astra Agro Lestari, Lonsum, Sinarmas, dan lain-lain.

Yang juga menarik, Luther termasuk pengusaha terpandang di Kal-Tim yang memulai semuanya dari bawah. Setamat SMA, Luther tak bisa kuliah karena keterbatasan ekonominya, sehingga ia kemudian memutuskan bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Dinas Kehutanan Kalimantan Timur. Namun ia memang pekerja keras dan sangat menyukai tantangan. Tak heran, ketika ia menjadi PNS, ia juga berusaha mencari kesibukan lain, yakni berbisnis kecil-kecilan. Luther pernah punya restoran, kantin, penyewaan kendaraan, hingga pernah menangani proyek pembangunan prasarana.

Boleh dibilang, sewaktu menjadi PNS ia sudah merasakan mendapatkan uang yang lumayan besar dari bisnis sampingannya. Sampai suatu ketika, dia dinasihati oleh seorang relasinya. “Kalau jadi PNS terus, kamu tak pernah akan bisa kaya atau cukup. Kamu harus mengubah nasib dengan menjadi entrepreneur. Apalagi kamu punya sifat dan karakter yang dibutuhkan untuk menjadi entrepreneur,” Luther menceritakan nasihat relasinya itu.

Sampailah pada 1986, di tahun inilah Luther mengajukan surat pengunduran diri sebagai PNS. Namun oleh atasan dan rekan kerjanya ia masih ditahan-tahan dan disarankan agar mengambil cuti di luar tanggungan negara saja. Saran itu sempat ia ikuti, tapi kelanjutannya ia tetap memutuskan keluar dari PNS. Semenjak itu ia menjalankan bisnis kontraktor.


Ia banyak membangun jalan untuk proyek-proyek transmigrasi dan juga sempat mengerjakan beberapa proyek pemerintah daerah pada masa awal bisnisnya. Akan tetapi dalam perjalanannya kemudian, ia tak berminat lagi mengerjakan proyek-proyek Pemda. Alasannya, urusannya terlalu bertele-tele dan sangat birokratis. “Kalau birokratis tapi wajar, mungkin masih bisa tahan. Tapi ini lain, kami sudah kerja setengah mati tapi uangnya susah keluar. Nunggunya setengah mati. Kami bekerja tapi seperti pengemis. Sejak itu kami tak tertarik lagi mengerjakan proyek-proyek pemerintah,” Luther menceritakan pengalaman pahitnya di masa awal membangun bisnisnya.


Belajar dari situ, Luther kemudian hanya bersedia bermitra dengan perusahaan swasta murni. Ia lalu dipercaya oleh sejumlah perusahaan besar semisal Sumalindo. “Sukses dipercaya oleh perusahaan-perusahaan besar itulah yang membuat saya beranjak naik,” katanya mengakui. Tak heran, bisnis kontraktornya tumbuh sangat pesat. “Seperti balon ditiup,” kata ayah tiga anak yang sekarang mondar-mandir Jakarta-Samarinda ini.

Kendati begitu, sukses Luther tak serta-merta membuatnya puas. Ada kegelisahan dalam hatinya. Ia melihat bisnis kontraktor begitu tergantung pada pihak lain. “Bisnis kontraktor hanya bisnis jasa kontrak karya. Ketika kami nggak dipakai lagi, maka kerjaan tak ada. Kami ingin bisnis yang long-term, bukan bisnis kontraktor seperti ini,” Luther berujar. Pilihan yang ada di kepalanya adalah bisnis hotel, rumah sakit, sekolah, atau perkebunan. Namun, ia melihat, berbisnis hotel, rumah sakit dan sekolah di Kal-Tim waktu itu belum memungkinkan. Sementara bisnis tambang batu bara terlalu banyak unsur perjudiannya, sehingga ia kurang tertarik. Setelah menimbang banyak hal, ia memutuskan masuk ke bisnis perkebunan sawit. “Saya pikir bisnis ini paling cocok untuk Kal-Tim karena alamnya memang memungkinkan,” ujar Luther.

Tahun 1998, ia sempat ditawari Departemen Kehutanan untuk memiliki izin HPH. Namun dengan tegas Luther mengatakan bahwa yang dia butuhkan adalah lokasi untuk perkebunan. Tentu saja langkah Luther ini lain dari kebanyakan pengusaha daerah yang lebih suka berbisnis HPH, karena tinggal tebang pohon dan cepat mendapatkan uang. Tahun 1998 itu Luther diberikan hak pemanfatan hutan untuk ditanami perkebunan kelapa sawit seluas 20 ribu hektare. Sejak itulah kiprah Luther di bisnis sawit terus bergulir. Tahun 1999, ia langsung menanam. Kebetulan sekali, waktu itu ia bisa memperoleh bibit bagus dari PT London Sumatera Plantation – yang saat itu gagal menanam karena didemo warga.

Untuk menggulirkan bisnis perkebunan sawit lewat bendera PT Dwimitra Lestari Jaya ini, Luther hanya mengandalkan modal sendiri. “Saya memakai tabungan sendiri dari hasil keuntungan bisnis-bisnis saya sebelumnya,” katanya mengenang. “Makanya pertumbuhan kami nggak bisa secepat mereka yang menggunakan kredit bank,” lanjutnya merendah.

Toh, kini bisnis sawit Luther terus berkembang. Konsesi perkebunan yang dipegangnya mencapai 35 ribu ha (di Sangkurilang dan Berau). Hanya saja, konsesi yang kedua (15 ribu ha) masih baru dan kini dikelola putra pertamanya. Dari kebun lamanya sudah 8 ribu ha yang tertanami, dan 3 ribu ha sudah berbuah (panen). Kebun sawitnya itu menyerap sekitar 1.600 tenaga kerja, yang sebagian pekerjanya didatangkan dari desa-desa miskin di Pulau Jawa. Di kebun sawit itu sendiri sudah terdapat pabrik pengolahan sawit dengan kapasitas 30 ton per jam, yang rencananya bakal ditingkatkan menjadi 60 ton per jam.

Langkah Luther tak berhenti di situ. Di lahan perkebunannya, ia juga mendirikan perusahaan kayu lapis (plywood) dan vinil skala sedang. Maklum untuk bisa melakukan penanaman, lebih dulu harus dilakukan pemotongan kayu hutan dengan ukuran diameter 20-30 cm. Agar tak ada kayu-kayu yang terbuang menjadi limbah, ia berpikir sebaiknya mendirikan pabrik pengolahan kayu. Ini juga sesuai dengan aturan pemerintah yang tak membolehkan dilakukan pemusnahan dengan cara pembakaran. “Satu-satunya cara ya diolah menjadi plywood,” katanya. Karena itu ia mendirikan PT Panca Karya Marga Bakti yang membuat kayu lapis dan sekarang mempekerjakan 400-an karyawan.

Luther merasa sangat bersyukur, karena merasa dari tak punya apa-apa, hingga sekarang punya bisnis yang berkembang. Contohnya, ia kini memiliki ratusan alat berat sendiri yang diperoleh dari membeli secara leasing. Apalagi ia juga punya aset properti bagus di Samarinda Seberang seluas 100 ha yang sedang dibangun proyek perumahan Samarinda Baru (sekitar 1.000 unit rumah). Sebelum krisis ia mengaku membeli tanah itu dengan harga Rp 15-20 ribu per m2, tapi kini harganya sudah Rp 500 ribu per m2. “Kalau dihitung (nilai asetnya itu) sekarang sudah di atas Rp 1 triliun. Padahal waktu krisis saya sempat mengira ini langkah bisnis saya yang salah,” ujar Luther yang juga berencana membangun hotel berbintang di lokasinya itu.

Dari perjalanan bisnisnya itu, Luther menyimpulkan bahwa sukses berbisnis membutuhkan lima prinsip, yakni: mau bekerja keras; punya keberanian (berani mengambil keputusan); jujur (agar meraih kepercayaan dari mitra); memelihara lingkungan; dan punya manajemen/administrasi yang baik. Soal jujur, contohnya, amat penting untuk mendapatkan kepercayaan orang. “Kalau sudah dipercaya orang berarti kami sudah menjadi orang kaya. Karena orang kalau sudah percaya akan berani meminjamkan barangnya atau uangnya kepada kami. Kalau kami tidak dipercaya maka hubungan itu akan putus,” tutur Luther yang kini lebih banyak menyerahkan operasional bisnisnya kepada anak pertamanya.

Meski bisa tumbuh sebagai pengusaha sukses, Luther mengaku sebenarnya memiliki banyak keprihatinan terhadap iklim bisnis sawit di Tanah Air. Menurutnya, kepastian hukum di Indonesia masih lemah. Juga belum ada political will dari pemerintah untuk memajukan pengusaha. Sejauh ini menurut Luther pemerintah belum melihat mana pengusaha yang serius, membayar pajak dan mempekerjakan banyak orang, serta mana pengusaha yang sekadar berpetualang. Ia berpendapat, pengusaha yang serius ingin membangun industri, seharusnya diberi insentif. “Tapi di Indonesia yang legal dan ilegal hanya beda-beda tipis. Malah birokrat lebih suka yang ilegal karena sogokannya tinggi,” katanya dengan nada meninggi. “Kita tertinggal jauh dari Malaysia,” tambahnya. Jaminan keamanan juga dinilainya masih lemah sehingga banyak perkebunan sawit yang dirusak warga. Belum lagi bunga bank cukup tinggi. “Kalau kondisinya kondusif, kami pasti sudah bisa tanam 20-30 ribu hektare sampai sekarang,” ujar Dirut PT Dwimitra Lestari Jaya ini seraya berharap.




Kisah bisnis  lainnya:



Lebih baru Lebih lama